1.Teori Rasionalitas Dalam teori
perilaku konsumen islam
By: ZAM ZAMI

Islam menjelaskan bahwa fungsi
tujuan konsumen muslim rasional mencapai maksimum tidak hanya dengan
mengkonsumsi sejumlah barang dan menguasai sejumlah barang tahan lama,
melainkan juga bahkan lebih diharapkan adalah membelanjakan pendapatannya untuk
amalan shaleh sesuai yang dikehendaki
Allah.Swt. Sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Qur’an
Surat Al-Kahfi ayat 46 :
Artinya: Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh
adalah lebih baikpahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
( QS.Al-Kahfi:46) Ayat di atas menjelaskan bahwa harta dan segala yang kita
miliki adalah semata-mata harapan untuk mencapai pahala menuju keridhoan Allah.
Sehingga dalam pemanfaatannya haruslah dengan sebaikbaiknya di manfaatkan
dijalan Allah.
Apabila pengeluaran konsumen
diluar belanja barang-barang konsumsi dan penguasaan barang-barang tahan lama
dikelompokkan kedalam zakat, infaq, dan sedekah, maka fungsi tujan konsumen muslim
merupakan fungsi dari jumlah barang yang dikonsumsi, jumlah barang yang tahan
lama yang dikuasai dan jumlah zakat, infaq, sodaqoh serta harta milik yang
harus diberikan pada saudaranya yang sangat membutuhkan. Dari penjelasan diatas
dapat dituliskan persamaan matematis fungsi tujuan konsumen muslim rasionalnya
yaitu:
U= a + f ( Xi + Yj + Zk ) ………………………….……………….
(10)
keterangan:
U = total utilitas yang diperoleh sebagai
akibat dari mengkonsumsi sejumlah barang Xi dan barang tahan lama Zk.
a = jumlah pengeluaran untuk ZIS
(zakat,infaq,sodaqoh) atau utilitas yang diterima sebagai akibat dari
dikeluarkannya harta untuk ZIS.
Xi = jumlah barang ke-I yang dikonsumsi pada
periode tertentu.
Yj = jumlah barang ke-j yang relakan untuk
konsumsi saudara-saudara
lain yang membutuhkan.
Zk = jumlah barang tahan lama ke-k yang
dikonsumsi pada periode
tertentu.
2. Konsep Tabungan dalam Islam
Tabungan dalam Islam jelas
merupakan sebuah konsekwensi atau respon dari prinsip ekonomi Islam dan nilai
moral Islam, yang menyebutkan bahwa manusia haruslah hidup hemat dan tidak
bermewah-mewah serta mereka (diri sendiri dan keturunannya) dianjurkan ada
dalam kondisi yang tidak fakir.[1] Jadi dapat dikatakan bahwa motifasi utama orang
menabung disini adalah nilai moral hidup sederhana (hidup hemat) dan keutamaan
tidak fakir.
Dalam bahasan tabungan pada ilmu
ekonomi konvensional, dijelaskan bahwa tabungan merupakan selisih dari
pendapatan dan konsumsi. Tanpa dijelaskan secara detil apa yang menjadi
motifasi dari tabungan tersebut. Dalam teori konvensional ini, relatif terlihat
bahwa tabungan merupakan sebuah konsekwensi dari pendapatan yang tidak
digunakan. Sehingga fungsi tambahan menabung atau kecenderungan menabung
marjinal (marginal propensity to save; MPS) menjadi MPS = 1 – MPC, dimana MPC
merupakan kecenderungan mengkonsumsi marjinal (marginal propensity to consume)
dari seorang individu.
Penjelasan kecenderungan tabungan
ini juga disinggung dalam bahasan teori permintaan uang (money demand). Kita
ketahui bahwa dalam wacana konvensional permintaan uang memiliki tiga motif
utama, yaitu motif transaksi (transaction), motif berjaga-jaga (precautionary)
dan motif spekulasi (speculation). Dalam Islam motif spekulasi tidak diakui,
karena aktivitas ekonomi berupa spekulasi (maisir) dilarang secara syariah.
Sehingga motif yang ada untuk memegang uang hanyalah motif untuk transaksi dan
berjaga-jaga, atau dengan kata lain motif untuk konsumsi (memenuhi kebutuhan)
dan menabung.
Tingkat tabungan dari seorang
individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan
ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu
membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan
mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat
kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat
berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki
wewenang dalam memaksa individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat
yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaib[2]
pada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam
memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.
Bagaimana hubungan tingkat
tabungan ini dengan tingkat investasi dalam sebuah perekonomian Islam? Tabungan
dalam ekonomi Islam tidak begitu kuat dihubungkan dengan investasi. Karena
ketika tabungan dimotifasi oleh alasan berjaga-jaga, hidup hemat dan sederhana,
maka tidak relevan akumulasi tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi
yang mekanismenya dalam Islam menggunakan skema bagi-hasil yang memiliki risiko
rugi. Risiko yang dimiliki investasi bagi hasil tidak begitu sinkron dengan
alasan para pemilik uang untuk menahan uangnya berupa tabungan. Meskipun
hubungan itu akhirnya terjadi akibat mekanisme perbankan syariah saat ini yang
menggunakan benchmark konvensional, dimana pos tabungan berjaga-jaga masyarakat
dapat digunakan oleh bank pada sisi pembiayaannya, konsekwensinya pada sisi
pendanaan bank syariah memberikan bonus kepada para nasabah tabungan yang
bermotif berjaga-jaga tersebut. Selain itu, berdasarkan motif dan realita
masyarakat Islam seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan konsumsi dan
permintaan, bahwa masyarakat Islam terdiri atas masyarakat muzakki, mid-income
dan mustahik, dapat disimpulkan bahwa mereka yang aktif dalam menabung adalah
mereka yang masuk dalam golongan muzakki dan mid-income. Dan akumulasi tabungan
secara teori akan relatif kecil jika dibandingkan akumulasi investasi, yang
berarti juga peran tabungan dalam perekonomian akan relatif kecil. Dengan
demikian tabungan tergantung pada besarnya pendapatan yang porsinya ditentukan
oleh kebutuhan berjaga-jaganya. Dan ini perlu dirumuskan lebih spesifik untuk
dapat mengkalkulasikan posisi dan peran tabungan dalam perekonomian.
Sementara itu apa yang diyakini
dalam konvensional bahwa tabungan atau excess income yang dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang akan menjadi ”potensi investasi” dapat saja
dibenarkan dalam Islam, sepanjang memang kebutuhan mereka pada konsumsi pokok
dan motif berjaga-jaga telah terpenuhi. Walaupun begitu menyebutkan kelebihan
tersebut sebagai tabungan juga mungkin kurang tepat, karena memang ada intensi
dari si pemilik untuk menggunakan kelebihan tersebut sebagai modal untuk
men-generate keuntungan selanjutnya (investasi)[3]. Sehingga tabungan jenis ini
merupakan potensi investasi yang harus menjadi perhatian para regulator dalam
rangka membuat sebuah kebijakan, baik di sektor riil maupun di sektor moneter.
Secara sederhana para regulator harus memastikan tersedianya usaha-usaha
ekonomi atau produk keuangan syariah yang mampu menyerap ”potensi investasi”,
sehingga waktu memegang uang oleh setiap pemilik dana akan ditekan seminimal
mungkin. Dengan kata lain penyediaan regulasi berupa peluang usaha atau
produk-produk keuangan syariah akan semakin meningkatkan velocity dalam
perekonomian. Dengan demikian perhatian regulasi moneter tidak tertuju pada
konsep money supply seperti yang dianut konvensional, tapi lebih pada velocity
perekonomian.
Hubungan tabungan dan investasi
dalam perekonomian Islam yang khas ini memang berbeda dengan apa yang dimiliki
oleh konvensional. Sehingga perlu sebuah konsep pendekatan analisa ekonomi yang
mampu memberikan penjelasan yang cukup tepat tentang posisi serta hubungan
tabungan dan investasi dalam sistem ekonomi Islam, juga peran keduanya dalam
memajukan kesejahteraan ekonomi.
Selain itu, satu hal yang juga patut mendapat
perhatian adalah prilaku menabung dari masyarakat non-muslim dimana mereka
tidak terekspos oleh risiko zakat. Dalam sebuah negara yang menerapkan sistem
ekonomi Islam, masyarakat non-muslim akan juga memiliki hak dan kewajiban yang
sama dengan warga muslim namun dalam bentuk yang berbeda. Perlindungan
kebutuhan dasar dan hak-hak sipil lainnya tak berbeda dengan warga muslim, tapi
mereka juga dikenakan kewajiban membayar kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak
individu) layaknya muslim membayarkan kewajibannya berupa zakat. Dengan begitu
warga non-muslim juga menghadapi risiko harta idle-nya berkurang, sehingga
menabung akan juga tetap terjaga pada porsi yang sama dengan tabungan warga
muslim dengan motif berjaga-jaga. Sementara kelebihan uang atau harta warga
non-muslim akan ”dipaksa” untuk masuk dalam mekanisme investasi yang
sebenarnya. Yaitu investasi yang berkaitan dengan usaha produktif di sektor
riil.
a.
Kondisi dimana diyakini akan meningkatkan
potensi manusia untuk berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan akidah dan
akhlak Islam (kufur).
b.
Pajak ini sifatnya kondisional atau berlaku
sementara, artinya diberlakukan sepanjang kondisi masyarakat memerlukan pajak
ini. Ketika kondisi ekonomi sudah membaik, maka pajak ini pun tidak lagi
dipungut. Lihat M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An
Islamic Perspective, The Islamic Foundation, Leicester UK, 1996.
c.
Definisi tabungan disini bermakna dua; pertama
tabungan yang ditujukan untuk berjaga-jaga dan tabungan yang ditujukan untuk
investasi. Tentu saja investasi yang produktif, bukan investasi dalam makna
luas yang dilakukan oleh konvensional, dimana aktivitas spekulasi masuk dalam
definisi investasi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar