By : Desi Anggun Lestari
NPM : 112310043
Sejak Perang Dunia II usai, kata
yang paling banyak dibicarakan orang adalah “pembangunan”. Pembangunan adalah
berkah perdamaian dan kemerdekaan yang dicapai oleh banyak negara selepas dari
kekuasaan kolonial. Pembangunan juga merupakan usaha yang dilakukan secara
sadar untuk memperbaiki kehidupan. Usaha itu mencakup hampir seluruh faset
kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, mental-spiritual, seni, dan
budaya. Kadang-kadang, pembangunan ekonomi juga dijadikan dasar
pembenaran atas langkah-langkah tertentu, seperti penggusuran, dan stabilitas
dengan justifikasi dari pembangunan yang sering kali disokong pembenarannya,
baik oleh agama, budaya, maupun komitmen kemasyarakatan.
Kita tahu sejak 25 tahun yang lalu,
Indonesia melaksanakan pembangunan ekonomi dengan titik berat pada
bidang perekonomian. Hasil-hasilnya pun sudah banyak dan dapat dirasakan oleh
semua orang. Keberhasilan Indonesia membangun adalah keberhasilan rakyat
Indonesia, termasuk umat Islam, yang merupakan bagian terbesar rakyat
Indonesia. Untuk itu, kita bersyukur. Namun, keberhasilan itu masih sangat
terbatas dibandingkan dengan yang telah dicapai negara-negara lain, apalagi
bila dibandingkan dengan keinginan dan cita-cita bangsa. Tantangan masih sangat
banyak dan berat.
Umat Islam, sebagai bagian terbesar
dari bangsa kita, ditantang menggegaskan tugas suci menyejahterakan diri dan
bangsanya. Dan, ini tidak boleh gagal. Kegagalan Indonesia membangun tidak bisa
lain adalah kegagalan umat Islam. Umat Islam-lah yang seharusnya paling
bertanggung jawab atas berhasil-tidaknya pembangunan ekonom karena umat
Islam jualah yang seharusnya paling berkepentingan dengan kemajuan bangsa,
negara, dan tanah airnya. “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman,” kata
mubalig. Satu-satunya cara agar kita berhasil mengubah citra melalui
peningkatan kesejahteraan ekonomi umat adalah dengan bekerja, yaitu bekerja
dalam suatu sistem dan mekanisme yang unggul serta teruji untuk mencapai
tingkat produktivitas yang optimal dan efisiensi yang tinggi.
Patut disayangkan, sampai sekarang
berdasarkan pengamatan penulis, secara nasional perekonomian Indonesia adalah
yang paling tidak efisien dibandingkan dengan semua negara ASEAN, kecuali
Filipina. Apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara newly industrializing
countries (NICs).” Hal itu berarti hasil-hasil ekonomi pembangunan yang selama ini dicapai dapat
lebih baik lagi bila masyarakat pelaku ekonomi Indonesia dapat bekerja lebih
produktif dan efisien.
Apabila kita melanjutkan pengamatan
kasar ini dengan menambahkan observasi etnologis, tak ayal lagi dapat
menimbulkan pikiran yang agak menggelikan, misalnya kita membandingkan
persentase penduduk China di Taiwan, Hongkong, Singapura, Thailand, Malaysia,
dan Indonesia. Urutan berdasarkan persentasi tertinggi sampai terendah itu
dapat menggoda kita untuk mengambil kesimpulan bahwa semakin sedikit jumlah orang
China, semakin kurang efisien, kurang maju perekonomian, dan semakin rendah
tingkat industrialisasi. Semakin banyak orang China, semakin maju dan modernlah
perekonomian.
Pengamatan ini tidak terlalu salah
bila kita perhatikan kenyataan kelompok-kelompok etnis lain yang juga unggul
dalam perekonomian di Eropa dan di wilayah lain di dunia. Sementara itu,
kelompok etnis Melayu di Malaysia” dan pribumi di Indonesia untuk sekian lama
masih perlu belajar banyak untuk mengejar ketertinggalannya. Salah satu faktor
yang menyebabkan ketertinggalan itu adalah sikap kerja bumiputera dan pribumi
yang perlu terus mendapat suntikan semangat dari “ideologi” atau keyakinan yang
dianutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar