Oleh : Sri Wahyuni
Nabi Muhammad Perumus Pertama
Ekonom Syariah
Tidak diragukan lagi
bahwa Nabi Muhammad saw adalah pemikir dan aktivis pertama ekonomi syariah, bahkan
sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Pada zamanya telah dikenal
pula transaksi jual beli serta perikatan atau kontrak (Al-Buyu’ Wa Al-‘Uqu`d).
Di samping, samp[ai bats-batas tertentu, telah dikenal pula bagaimana mengelola
harta kekayaan negara dan hak rakyat di dalamnya. Berbagai bentuk jual beli dan
kontrak termaksud telah diatur sedemikian rupa dengan cara menyerap tradisi
dagang dan perikatan serta berbagai bentuk kontrak yang telah ada sebelumnya
yang mendapat penyesuaian dengan wahyu, baik Alquran maupun Sunnah. Bahkan
lebih jauh lagi, Sunnah Rasul telah mengatur berbagai alat transaksi dan teori
pertukaran dan percampuran yang melahirkan berbagai istilah teknis ekonomi
syariah serta hukumnya, seperti Al-buyu’, Al-uqud, Al-musyarakah,
Al-mudlarabah, Al-musaqah, Sementara para aktivis awal di bidang ini adalah
para Sahabat Rasul itu sendiri.
Pengagas dan Aktivis Ekonomi Syariah
Suatu survey pemikiran
ekonomi syariah berhasil menyusun penggagas, pemikir dan aktivis ekonomi Islam
secara kronologis, walaupun belum begitu memadai. Berikut beberapa penggagas
dasar ilmu Ekonomi Syariah yang melambangkan perkembangan pemikiran ekonomi
syariah sekaligus.
Zaid Bin
Ali (80-120H / 699-738M)
Zaid adalah pengagas
awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari
harga tunai.
Abu
Hanifah (80-150H / 699-767M)
Abu Hanifah lebih
dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionlistis dan dikenal puga
sebagai penjahit pakaian atau taylor dan pedagang dari Kufah, Iraq. Ia
menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang
dikenal dewasa ini dengan bay’ al-sala`m dan al-mura`bahah.
Al-Awza’i
(88-157H / 707-774M)
Nama lengkapnya Abdurahman
al-Awza’i yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu
Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah.
Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah
sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal,
baik dalam bentuk tunai atau sejenis.
Imam Malik
Bin Anas (93-179H / 712-796M)
Imam Malik lebih
dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis Al-Muwatha’, dan Imam
Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi,
seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan
rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya
mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dalam filsafat
Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart
Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam
untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bersama.
Abu
Yusuf (112-182H / 731-798H)
Abu Yusuf adalah
seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya
(Al-Qadli/hakim) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan
umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan
pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab
Al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian.
Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan
dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun Al-Rasyid, dengan tujuan untuk
menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan
bagi penguasa.
Abu
‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H / 774-738M)
Pembahasan ekonomi
syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, Al-Amwa’l, diawali dengan enam belas
buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq
al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas
pemerintahnya). Buku ini dapat
digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena
sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Alquran dan hadis di
bidangnya.
Abu
Hamid Al-Ghazali (1059-1111 H)
Tokoh yang lebih
dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini
melihat bahwa uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar
Tusi
(1201-1274 H)
Tusi adalah penulis
buku dalam bahasa Persia, Akhlaq –i-Nasiri yang menjelaskan bahwa:
Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan
alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak
akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang
bekerja sama dengan lainya dan setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan
profesinya sehingga menghasilkan konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya
sendiri.
Ibnu
Taymiyyah
(1262-1328 H)
Ibnu Taymiyyah dalam
kitabnya, Al-Siyasa`t Al-Syar’iyyah fi` Ishla`h Al-Ra`’iy wa Al-Ra’iyyah
menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk
kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada` al-ama`na`t ila` hliha`.
Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni
oleh negara (Al-siya`sa`t l-syar’iyyah) pengertian Al-siyasah Al-dustu`riyyah
maupun Al-siya`sa`t al-ma`liyyah (politik hukum publik dan privat).
Ibn
Khaldun (1332-1406 H)
Cendekiawan asal
Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak
mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, Al-Muqaddimah,
tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara
berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas
daripada definisi Tusi. Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara
ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk
kepada “ketentuan akal dan etika” telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa
ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus positif.
Al-Mawardi
Al-Mawardi
Penulis Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah,
adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan
pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan
spiritual dan temporal (li hara`sat Al-di`n wa al-umur Al-dunyawiyyah). Jika
kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan
segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di
atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (Al-falah) rakyatnya,
baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual
(privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik.
Baguusss,,,,,,,,,,
BalasHapus