Pages

Sabtu, 30 Maret 2013

“Sejarah Perkembangan Pemikiran Ekonomi Syariah” By : Sri Wahyuni


Oleh : Sri Wahyuni


Nabi Muhammad Perumus Pertama Ekonom Syariah

Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad saw adalah pemikir dan aktivis pertama ekonomi syariah, bahkan sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul.  Pada zamanya telah dikenal pula transaksi jual beli serta perikatan atau kontrak (Al-Buyu’ Wa Al-‘Uqu`d). Di samping, samp[ai bats-batas tertentu, telah dikenal pula bagaimana mengelola harta kekayaan negara dan hak rakyat di dalamnya. Berbagai bentuk jual beli dan kontrak termaksud telah diatur sedemikian rupa dengan cara menyerap tradisi dagang dan perikatan serta berbagai bentuk kontrak yang telah ada sebelumnya yang mendapat penyesuaian dengan wahyu, baik Alquran maupun Sunnah. Bahkan lebih jauh lagi, Sunnah Rasul telah mengatur berbagai alat transaksi dan teori pertukaran dan percampuran yang melahirkan berbagai istilah teknis ekonomi syariah serta hukumnya, seperti Al-buyu’, Al-uqud, Al-musyarakah, Al-mudlarabah, Al-musaqah, Sementara para aktivis awal di bidang ini adalah para Sahabat Rasul itu sendiri.


Pengagas dan Aktivis Ekonomi Syariah

Suatu survey pemikiran ekonomi syariah berhasil menyusun penggagas, pemikir dan aktivis ekonomi Islam secara kronologis, walaupun belum begitu memadai. Berikut beberapa penggagas dasar ilmu Ekonomi Syariah yang melambangkan perkembangan pemikiran ekonomi syariah sekaligus. 

Zaid Bin Ali (80-120H / 699-738M)

Zaid adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.


Abu Hanifah (80-150H / 699-767M)

Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionlistis dan dikenal puga sebagai penjahit pakaian atau taylor dan pedagang dari Kufah, Iraq. Ia menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-sala`m dan al-mura`bahah.




Al-Awza’i (88-157H / 707-774M)

Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.


Imam Malik Bin Anas (93-179H / 712-796M)

Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis Al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bersama.


Abu Yusuf (112-182H / 731-798H)

Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (Al-Qadli/hakim) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab Al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun Al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa.


Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H / 774-738M)

Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, Al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Alquran dan hadis di bidangnya.


Abu Hamid Al-Ghazali (1059-1111 H)

Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar

Tusi (1201-1274 H)

Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq –i-Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri.


Ibnu Taymiyyah (1262-1328 H)

Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, Al-Siyasa`t Al-Syar’iyyah fi` Ishla`h Al-Ra`’iy wa Al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada` al-ama`na`t ila` hliha`. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (Al-siya`sa`t l-syar’iyyah) pengertian Al-siyasah Al-dustu`riyyah maupun Al-siya`sa`t al-ma`liyyah (politik hukum publik dan privat).


Ibn Khaldun (1332-1406 H)

Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, Al-Muqaddimah, tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada definisi Tusi.  Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika” telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus positif.



 Al-Mawardi

Penulis Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat Al-di`n wa al-umur Al-dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (Al-falah) rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik.

1 komentar: