Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan
Ketua Komisi Hukum
Nasional, J.E Sahetapy dalam Diskusi Publik Pengertian Keuangan Negara Dalam
Tindak Pidana Korupsi minggu lalu mengatakan perlu kejelasan definisi secara
yuridis dalam menentukan pengertian keuangan negara. Menurutnya pengertian
keuangan negara masih tersebar dalam beberapa undang-undang. Diantaranya UU No.
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, UU No. 49 Prp. Tahun 1960, serta munculnya pasal piutang
perusahaan negara dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata
cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Pasal 1 angka 1 UU
No.17/2003 mendefinisikan keuangan negara sebagai semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Namun menurutnya, definisi
keuangan negara tersebut belum jelas.
Sahetapy mengatakan
pihak yang pro perluasan definisi keuangan negara akan berpegang pada ketentuan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Apabila terjadi kerugian pada BUMN dan
Persero, penegak hukum dan aparat negara menggunakan ketentuan pasal 2 huruf g
Undang-Undang Keuangan Negara dan penjelasan umum Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi. Esensinya, penyertaan negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara
yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik. Karenanya, apabila
terjadi kerugian negara maka ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
dapat diberlakukan pada pengurus BUMN.
Sementara pihak yang
menginginkan penyempitan definisi keuangan negara terutama bagi BUMN,
menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1
ayat (1) yang menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan. Ketika kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan
lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat.
Pendapat senada
disampaikan Direktur Informasi dan Akuntansi Ditjen Perbendaharaan Departemen
Keuangan, Hekinus Manao. Cakupan keuangan negara menurut beliau sesuai Pasal 2
huruf g UU Keuangan Negara meliputi Kekayaan negara/kekayaan daerah yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Pemahaman kedudukan
keuangan negara berdasarkan ketentuan itu menurutnya terbatas pada kekayaan
yang dipisahkan, yaitu sebesar modal yang disetor atau perubahannya. “Kalau
pemerintah memegang saham 50% maka penyertaannya ya 50%, jangan ditafsirkan
aset BUMN identik dengan aset negara, “jelasnya.
Hekinus menambahkan
pemahaman yang keliru terjadi saat keuangan negara ditafsirkan sebagai seluruh
aset BUMN/BUMD merupakan aset pemerintah. Jika demikian berarti seluruh piutang
maupun utang BUMN/BUMD juga piutang pemerintah dan mestinya seluruh utang utang
BUMN/D adalah utang pemerintah. Padahal , ketika suatu bagian kekayaan negara
masuk pada BUMN/BUMD maka bagian kekayaan pemerintah yang disertakan di
dalamnya tunduk pada ketentuan rezim korporasi.
Dengan demikian, masih
menurut Hekinus, aturan tentang pertanggungjawaban kerugian negara dalam
konteks BUMN/BUMD mengacu pada UU No.1 Tahun 1995 Perseroan Terbatas dan UU No.
19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Menanggapai hal itu
Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan kepabeanan,
Hariyadi B. Sukamdani mengatakan kerancuan pengertian keuangan negara berdampak
pada dunia usaha. Ketidakpastian hukum muncul sehingga stakeholders BUMN
tidak berani mengambil keputusan strategis. Hariyadi mencontohkan kinerja
perbankan yang menurun serta kasus korupsi tender KPU yang menyeret pengusaha
membuat pihak swasta takut bekerjasama dengan pemerintah.
Hariyadi menambahkan
kerugian dalam perusahaan kerap terjadi dan tidak selamanya akibat tindakan
korupsi. Kerugian bisa terjadi karena mismanajemen, peningkatan biaya
operasional atau penurunan penjualan. Selain itu, peranan persaingan tidak
sehat serta kondisi krisis ekonomi makro seperti krisis ekonomi, moneter, turut
berperan dalam kerugian perusahaan.
Maka tutur Hariyadi
kerugian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai korupsi, “Sehingga harus
dibedakan antara salah urus dengan mencuri,“ papar Hariyadi.
Erman Radjagukguk Guru
Besar Fakultas Hukum UI menegaskan kekayaan negara menyangkut BUMN berbentuk
Persero bukanlah harta kekayaan BUMN secara keseluruhan. Melainkan kekayaan
negara yang dipisahkan dalam BUMN yang berbentuk saham yang
dimiliki oleh negara.
Erman menambahkan tindak
pidana korupsi, baru dapat dikenakan pada orang yang menggelapkan surat
berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum sesuai Pasal
8 UU No.20 Tahun 2001 jo Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Erman menilai ketentuan
PP No.14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah
sebuah kesalahan. Pasal 19 dan 20 menyebutkan tata cara dan penghapusan secara
bersyarat maupun mutlak piutang perusahaan negara/daerah diserahkan pada PUPN
dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan begitu tidak
ada pemisahan kekayaan BUMN Persero dengan kekayaan negara sebagai pemegang
saham.
Ketentuan Undang-undang
No.49 tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) mendefinisikan
piutang negara atau hutang kepada negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar
kepada Negara atau badan-badan baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai negara. Menurut Hekinus, aturan ini sudah tidak sesuai
dengan dengan perkembangan dan tidak seharusnya digunakan lagi.
Aturan ini diterbitkan
saat pemerintah RI mengambil alih perusahaan-perusahaan eks Belanda, sementara
kedudukan perusahaan negara waktu itu berbeda. Karenanya, lanjutnya, seharusnya
digunakan penafsiran lex posteriori derogat lex priori (hukum
yang berlaku kemudian menghapuskan hukum yang berlaku terdahulu).
Erman emanmbahkan upaya hukum negara jika terjadi kerugian harus sesuai
dengan mekanisme UU No. 1/1995 dan UU No. 19/2003. Erman khususnya menunjuk
Pasal 54 ayat(2) UU No. 1/1995 dimana pemegang saham dapat menggugat direksi
atau komisaris apabila keputusan mereka dianggap merugikan pemegang saham.
Tuntutan pidana juga dapat dikenakan pada direksi BUMN/BUMND yang melakukan
delik penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran
Undang-undang Perbankan atau lainnya yang memuat ketentuan pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar