Pages

Sabtu, 08 Juni 2013

Dampak Riba Terhadap Ekonomi Rumah Tangga By: M. Romi



DAMPAK RIBA TERHADAP KEHANCURAN EKONOMI RUMAH TANGGA

Firman Allah:
“Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah”. (Q.S. ar-Rum: 39).
            Menurut pandangan kebanyakan manusia pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada intelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas.
            Pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah        Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum:39).
            Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi rumah tangga tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan Al-Qur’an ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi rumah tangga. Sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang, karena riba secara empiris telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian, khususnya bila ditinjau perspektif makro.
            Harus dicatat bahwa Al-Qur’an membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam konteks ekonomi makro, bukan hanya ekonomi mikro. Bahkan sisi ekonomi makro jauh lebih besar. Kesalahan umat Islam selama ini adalah membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata.
            Membicarakan riba dalam konteks teori ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi rumah tangga secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaan (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam bentuk mikro adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontak antara debitur dan kreditur. Biasanya dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur atau kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.
            Padahal dalam ayat, Al-Qur’an menyoroti praktek riba yang telah sistematik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi sistem ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari  perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system) mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, sehingga perdagangan international.
            Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membayahakan perekonomian.
            Pertama, sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi puncak utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus  tingkat inflasi.
            Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi rumah tangga dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF menunjukan bagaimana kesenjagan tersebut terjadi sejak tahun 1965 sampai sekarang ini.
            Ketiga, suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investai menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkat angka pengangguran dan kemiskinan.
            Keempat, teori ekonomi makro juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan akan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat di benci Islam, sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Qur’an dan pengentasan kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus.
Kelima, sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
            Keenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbankkan konvesional yang  telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit tiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam jumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan.
            Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah mengatakan bahwa sistem bungan tidak menumbuhkan ekonomi rumah tangga, tetapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa, negara, dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya,  maka lanjutan ayat tersebut pada ayat ke – 41 berbunyi : “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka, mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”.
            Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang di jalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
            Selanjutnya, dalam membahas dampa riba ini, kita perlu mengutip pendapat Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya “Factor Pricing and Income Distribution form An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics. Dia menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi setidaknya disebutkan dalam empat alasan, yaitu:
            Pertama, sistem ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam rumah tangga terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminnjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul. Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bangkrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil ?
            Kedua, sistem ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunyya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dan jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh. Padahal para penyimpan uang  di bank-bank pada umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal yang dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.
            Ketiga, sistem ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam rumah tangga, maka semakin kecil kecenderungan rumah tangga untuk berinvestasi. Rumah tangga akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperoleh akibat tingginya tingkat bunga.
            Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistem ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistem ekonomi ribawi seperti disebutkan diatas.
            Tak bisa dibantah bahwa sistem ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi rumah tangga dan juga masyarakat. Hal itu terlihat dengan jelas pada praktek perbankan konvesional yang menganut sistem ribawi. Tingkat bungan dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bnak tidak mau tahu apakah para peminjam memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal pinjamanny plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan semakin rusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistem ekonomi ribawi dalam rumah tangga maupun masyarakat.
            Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistem ekonomi konvesional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada rumah tanggan dan masyarakat. Pihak bank tidak mau tahu apakah uang pinjaman itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada rumah tanggan dan juga masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang menyebaban semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya  hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya mempengaruhi tingkat produksi dalam rumah tangga dan masyarakat.
            Sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang ( currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimasudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi. Sebagai contoh, bila tingkat bunga di  Indonesia, katakanlah, 12% dengan tingkat inflasi 8 %, maka tingkat bunga riel adalah 4 % (12% - 8%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara otomatis akan mempengaruh investor untuk membeli Rupiah, karena pada dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riel di negara-negara lain.
            Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang. Semakin banya jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran, semakin tinggi jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai Rupiah akan menurun, dan sebaliknya.
            Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di Indonesia, dimana jangankan businessman asing, para businessman dalam negeripun lebih cenderung membelo Dolar atau mata uang asing lainnya dengan menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditmbah lagi dengan larinya dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan menyebabkan krisis ekonomi terjadi berkepanjangan.
            Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya saing komoditas eksport Indonesia di pasar Intersional karena relatif murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata uang asing.
            Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari luar negara. Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan  komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas itu harus di jual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa punurunan nilai Rupiah tidak akan memberikan kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar Internasional.
            Permasalahan di atas, sebenarnya tidak pernah terjadi kalau sistem ekonomi Islam diapdosi dalam sistem ekonomi negara. Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel, sebab ekonomi Islam tidak mengenal sistem bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak mengalami volalilitas yang membahayakan.
            Di Indonesia, sistem ekonomi ribawi telah menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi perekonomian Indonesia. Dana APBN kita setiap tahun dikuras untuk kepentingan membayar bunga dalam jumlah yang besar, baik untuk bunga pinjaman luar negeri, terlebih untuk membayar bunga obligasi rekap kepada bank-bank siistem ribawi.
            Besarnya kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi kepada bank-bank rekap sangat luar biasa. Pada tahun 2001 saja, bunga obligasi yang harus dibayar APBN sebesar Rp. 61,2 Triliyun. Dan ini berlanjut terus setiap tahun sampai sekarang, walaupun cenderung semakin mengecil. Oleh karena membayar beban bunga itu, tidak mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus. Pada tahun 2002 APBN defisit Rp. 54 Triliyun. Pada tahun 2003 defisit Rp. 45 Triliyun, pada tahun 2004 defisit Rp. 35 Triliyun. Masih defisitnya APBN tahun 2004 yang lalu, karena dana APBN masih dikuras bunga bank sebesar Rp. 68 Triliyun. Bahkan sampai sekarang APBN kita tetap defisit, karena hampir sepertiga dana APBN diperuntukkan bagi pembayaran bunga. Maka, agar negara kita selamat dari ancaman dan dampak riba yang terus menggerogoti APBN, seharusnya bangsa Indonesia sadar untuk kembali kepada penerapan sistem ekonomi syari’ah.

1 komentar: